DPR dan Pemerintah Sepakat Untuk Permudah Remisi Koruptor dan Teroris
Nasional

Komisi Hukum DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Rapat Paripurna dalam waktu dekat.

WowKeren - Masa jabatan DPR RI yang akan segera berakhir membuat para wakil rakyat mengebut pembahasan revisi sejumlah Undang-Undang. Salah satunya adalah revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Komisi Hukum DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membawa revisi tersebut ke Rapat Paripurna dalam waktu dekat. Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen pada Selasa (17/9) malam.

Salah satu poin yang telah disepakati pemerintah dan DPR dalam revisi UU Pemasyarakatan tersebut adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa. Kasus ini mencakup korupsi dan terorisme.

Menurut Wakil Ketua Komisi III, Erma Ranik, revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Padahal, PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur soal prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa.

Salah satu syarat itu adalah mau bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu, Pasal 43B ayat (3) PP 9/2012 juga mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.


Dengan dihapusnya PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut, DPR dan pemerintah sepakat untuk menerapkan kembali PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian pembebasan bersyarat. "Kami berlakukan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang berkorelasi dengan KUHP," ujar Erma.

PP Nomor 32 Tahun 1999 ini tidak mencantumkan persyaratan tersebut. PP ini hanya menyatakan bahwa remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang berkelakuan baik selama menjalani masa pidananya.

Erma lantas menjelaskan bahwa berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999 dalam RUU Pemasyarakatan ini membuat pemberian remisi tergantung pada vonis hakim di pengadilan. Hal itu disebutnya sudah sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak.

Menurut Erma, selama vonis hakim tidak menyebutkan hak terpidana (termasuk remisi) dicabut, maka terpidana tersebut berhak mengajukan remisi kepada Menteri Hukum dan HAM. Pemberian remisi ini akan mempertimbangkan catatan dari pejabat Pemasyarakatan.

"Jadi pengadilan saja," pungkas Erma. "Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu."

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait