Kini Tak Wajib Ditayangkan, Berikut Adegan Film G30S/PKI Yang Diduga Tak Akurat
Nasional

Pasca-Orde Baru tumbang, kebenaran akan isi cerita film G30S/PKI menuai perdebatan. Beberapa adegan dinilai tidak akurat dan cenderung menuai kritik serta kontroversi.

WowKeren - Hari ini tepat pada tanggal 30 September merupakan hari yang memiliki banyak sejarah bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya tepat 54 tahun lalu atau pada tahun 1965 terjadi sebuah tragedi berdarah yang kerap disebut sebagai Gerakan 30 September/PKI atau yang sering disebut sebagai G30S/PKI.

Gerakan tersebut meliputi peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal TNI pada 30 September 1965. Di masa Orde Baru, untuk mengingat peristiwa ini, pemerintah mewajibkan pemutaran film G30S/PKI. Film ini mengisahkan upaya percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).


Film tersebut perdana tayang pada tahun 1984 dan diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PFN). Film ini tayang di bioskop dan wajib ditayangkan di TVRI setiap 30 September malam. Menurut beberapa sumber, film ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan dokumenter. Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun ada juga beberapa bagian yang sangat sedikit berupa dokumentasi.

Film ini kemudian dihentikan kewajiban penanyangannya pada Oktober 1998 seiring jatuhnya kekuasan Presiden Soeharto pada Mei 1998. Pasca-Orde Baru tumbang, kebenaran akan isi cerita film G30S/PKI menuai perdebatan. Beberapa adegan dinilai tidak akurat dan cenderung menuai kritik serta kontroversi.

Beberapa sejarahwan serta pengakuan dari keluarga aktivis G30S/PKI mengaku bahwa beberapa adegan tersebut tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Berikut tim WowKeren rangkum beberapa adegan dari film tersebut yang dinilai tak akurat.

(wk/putr)

1. Penyiksaan Sadis Terhadap Perwira Tinggi


Penyiksaan Sadis Terhadap Perwira Tinggi

Adegan paling kontroversial dalam film G30S/PKI adalah tentang sadisnya penyiksaan terhadap beberapa perwira tinggi. Film tersebut melukiskan secara gamblang bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya dan mengalami penyiksaan hebat.

Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara tak manusiawi, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta. Selain itu terdapat juga adegan dimana para jenderal yang dicongkel matanya serta alat-alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)

Namun kenyataanya tidak seperti itu. Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, mewawancarai dr Liem Joe Thay yang kini lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto. Profesor yang kini telah almarhum itu merupakan Guru Besar Kedokteran Forensik UI dan salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.

"Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan," ungkap Prof Arif dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya "Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang" (Penerbit Buku Kompas, 2010).

Selain itu, Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak.

2. Penyiksaan Piere Tendean oleh Gerwani


Penyiksaan Piere Tendean oleh Gerwani

Salah satu adegan penyiksaan kepada perwira yang terjadi dalam film tersebut ditunjukkan dilakukan oleh aktivis Gerwani yang merupakan sebuah organisasi perempuan yang menjadi bagian dari PKI. Kapten Pierre Andreas Tendean ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban penyiksaan dan pelecehan oleh beberapa aktivis Gerwani.

Namun menurut pengakuan Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, yang diwawancarai oleh Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, dia sendiri ragu bahwa wanita Gerwani lah pelakunya.

Ibu Mitzi mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu. Dari situlah ia sendiri ragu bahwa mereka pelakunya. "Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara yang lengkapnya diterbitkan di majalah D&R tahun 1999.

3. Kontroversi DN Aidit Perokok


Kontroversi DN Aidit Perokok

Dalam suatu adegan pada film tersebut, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok.Padahal kenyataannya Aidit bukan bukan seorang pecandu tembakau.

Alih-alih menggilai rokok, Aidit justru diketahui sering menghimbau kawan-kawannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya. Dalam isi "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" tertanggal 5 Januari 1959, Aidit menyerukan teman-temannya untuk menghentikan kebiasaan merokok atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada rokok.

Aidit mengatakan akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga mereka tak ada yang merupakan pecandu rokok.

"Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," ungkap Murad dalam Aidit Sang Legenda

4. Peta Indonesia di Ruang Kostrad


Peta Indonesia di Ruang Kostrad

Adegan ini merupakan adegan di mana Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pasca terjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Namun ada pemandangan unik yang membuat adegan ini sedikit kotroversial dan diragukan keakuratannya.

Dalam adegan tersebut terdapat peta Indonesia yang menarik perhatian karena sudah memasukkan Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam "Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa", menuliskan bahwa tahun 1965 hingga 1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI. “Jadi peta yang ada di sana bersifat anakronis," ujar Asvi.

5. Tarian Erotis Aktivis Gerwani


Tarian Erotis Aktivis Gerwani

Salah satu adegan yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah "pesta besar" di Lubang Buaya lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, sejatinya penggambaran itu merupakan sebentuk propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata.

Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul "Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia", Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri rupanya tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut meskipun diketahui punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI.

Dalam kesaksian Suharti, salah satu mantan anggota Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia.

Begitu pula dengan kesaksian Serma Bungkus, mantan anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku "Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah", Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya.

6. Kenyataan Tentang Sakitnya Presiden Soekarno


Kenyataan Tentang Sakitnya Presiden Soekarno

Dalam film tersebut Presiden Soekarno dikisahkan tengah sakit keras. Sosok Presiden Soekarno yang diperankan oleh Umar Khayam itu juga digambarkan selalu berjalan bolak-balik layaknya orang yang tengah kebingungan.

Namun fakta yang sebenarnya adalah Bung Karno kala itu sehat-sehat saja. Memang sempat ada isu beredar bahwa Bung Karno sedang sakit keras. Namun kehadiran Presiden pertama Indonesia itu dalam sejumlah kegiatan seremonial seperti pembukaan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta pada 30 September 1965 membuktikan bahwa beliau tidak sakit keras.

Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta. Perawatan yang tidak intensif membuatnya tutup usia pada Juni 1970.

7. Film G30S/PKI Tak Wajib Ditayangkan Sejak Tahun 1998


Film G30S/PKI Tak Wajib Ditayangkan Sejak Tahun 1998

Mulai tahun 1998 film G30S/PKI tidak lagi ditayangkan di TVRI. Hal ini bertepatan dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Dari rujukan-rujukan yang diperoleh Imelda Bachtiar, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film G30S.

Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.

"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.

Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.

Ada pun Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait