Omnibus Law Dinilai Hendak Balikkan Kewenangan Presiden ke Era Orde Baru
Nasional

Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA), Tohadi, menegaskan bahwa norma hukum yang mengarak kepada pemerintahan otoriter dalam RUU Omnibus Law tersebut harus ditolak.

WowKeren - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja merupakan salah satu beleid yang dikejar penyelesaiannya dalam waktu dekat oleh pemerintah. Meski demikian, RUU Omnibus Law juga dipenuhi oleh kontroversi dan pro-kontra.

Salah satu isu yang kini paling banyak disorot terkait Omnibus Law adalah aturan yang memberi kewenangan pada Presiden untuk mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP). Padahal selama ini PP berkedudukan di bawah UU, sehingga PP tidak bisa mengubah UU.

Sejumlah pihak pun menyuarakan penolakan terhadap aturan ini, termasuk Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA), Tohadi. Ia menegaskan bahwa norma hukum yang mengarak kepada pemerintahan otoriter dalam RUU Omnibus Law tersebut harus ditolak.

"Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja ada rumusan norma yang menentukan bahwa Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang yang nanti disahkan," jelas Tohadi dilansir Antara pada Kamis (20/2).


Lebih lanjut, Tohadi yang juga merupakan pengamat politik dan tata negara tersebut menilai bahwa Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja itu menggunakan alasan percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagai "senjata ideologi". Hal ini memberi alasan bagi pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, untuk mengubah UU.

Padahal, tutur Tohadi, Indonesia telah sepakat untuk menganut sistem pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power) dengan mekanisme checks and balances. Pihak yang memiliki kewenangan untuk membentuk UU dalam sistem ini adalah legislatif (DPR) dengan persetujuan Presiden. Tohadi pun menyebut bahwa pasal dalam RUU Omnibus Law tersebut seakan hendak membalikkan kewenangan Presiden seperti di zaman Orde Baru.

"Jadi, bukan kewenangan utama Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden," tegas Tohadi. "Rumusan Pasal 170 Ayat (1) RUU Cipta Kerja hendak membalik ke belakang kewenangan Presiden di zaman Orde Baru."

Selain itu, Tohadi menyebut bahwa ketentuan mengenai perubahan UU lewat PP tertuang dalam Pasal 170 Ayat (2) RUU Cipta Kerja. Sehingga, rumusan kata Peraturan Pemerintah dalam Pasal 170 Ayat (2) RUU Cipta Kerja sebagai konsekuensi dari rumusan Pasal 170 Ayat (1) sebelumnya, yang menentukan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang.

"Instrumen hukum yang dimiliki Pemerintah Pusat atau Presiden kan memang Peraturan Pemerintah. Jadi, soal kekeliruan Peraturan Pemerintah (PP) ini sebagai kekeliruan ikutan dari ayat (1) sebelumnya," pungkasnya. "Jadi, rumusan norma dalam RUU Cipta Kerja yang mengarah ke pemerintahan otoriter harus ditolak. Presiden dan DPR harus merevisi total ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja."

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait