Alat Rapid Test Corona Rumahan Ramai Dicari, Peneliti Tegaskan Tak Akurat
Health

PM Inggris, Boris Johnson, mengaku sudah memborong 17,5 juta alat rapid test COVID-19 yang bisa digunakan di rumah. Namun belakangan para ahli menyebut alat ini tak akurat.

WowKeren - Berbagai upaya dilakukan oleh tiap individu agar bisa terhindar dari wabah virus Corona. Sebab, seperti diketahui, "usia" wabah ini sudah lebih dari 3 bulan namun tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

Memang dunia saat ini tak bisa bergantung pada metode pengobatan atau penangkal seperti vaksin. Otoritas kesehatan dari berbagai negara maupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hanya menyarankan metode pencegahan.

Salah satunya dengan memperbaiki sistem deteksi pasien positif COVID-19. Harapannya bila pasien positif bisa segera terdeteksi, peluang virus untuk menular di lingkungan sekitarnya bisa ditekan dan sang pasien pun bisa segera mendapatkan penanganan dari tim medis.

Harapan itu pun diwujudkan lewat alat deteksi COVID-19 rumahan yang baru-baru ini banyak dibicarakan publik. Seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang baru-baru ini memesan 17,5 juta "rapid test kit" rumahan.

Sebagai informasi, alat ini bekerja dengan mendeteksi antibodi pasien, serupa dengan cara kerja rapid test kit. PM Johnson sendiri menyebut alat ini sebagai "game changer" karena diharapkan bisa mengembalikan situasi yang kian krisis akibat wabah.


Namun ternyata alat-alat itu diklaim tak bisa dipertanggungjawabkan akurasinya. Bahkan peneliti menyebut alat itu berpotensi gagal mendeteksi setengah dari total kasus positif COVID-19.

Prof Marion Koopmans, Kepala Laboratorium Virologi di Universitas Ilmu Kesehatan Erasmus, Rotterdam terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya akan alat tersebut. Ia mengklaim tak akan berani memberikan "immunity passport" bila hanya berdasarkan alat seukuran tes kehamilan rumahan itu.

"Sejauh ini, saya tidak yakin alat-alat tes rumahan itu lolos standar kualitas," ujarnya. "Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, saya sendiri ragu menerbitkan 'immunity passport' berdasarkan hasil rapid test."

"Sensitivitas tes semacam ini, saya rasa sangat rendah," imbuhnya. "Saya tidak terkejut (kalau akurasinya) hanya 50-60 persen. Memang tak terlalu menghabiskan uang, tetapi kenapa harus membayar untuk tes yang tidak akurat?"

Menanggapinya, Dr David Ho, pakar penyakit menular dari Univesitas Kolombia menyebut rendahnya akurasi hasil tes karena berdasarkan antibodi. Pasien positif dengan gejala klinis rendah, bahkan cenderung asimtomatis, tak menunjukkan kadar antibodi yang tinggi.

"Masalahnya, dalam beberapa pekan, mungkin akurasi hasil tesnya hanya 50-60 persen, terutama di kasus dengan gejala ringan atau cenderung asimtomatis," tuturnya. "Ini bukan kesalahan alat ujinya, karena memang dengan alat yang lebih sensitif pun kadar antibodi dari kasus-kasus semacam ini sangat rendah."

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru