Kondisi Pasien COVID-19 Kerap Memburuk di Minggu Kedua Usai Terinfeksi, Begini Penjelasannya
Health

15 persen dari orang yang terinfeksi COVID-19 harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Tak sedikit dari mereka yang dirawat ini kondisinya justru menurun di minggu kedua pasca terinfeksi.

WowKeren - Virus corona telah menginfeksi lebih dari 3,1 juta orang di dunia. Bahkan sekitar 15 persen dari orang yang terinfeksi COVID-19 harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.

Sayangnya, sejumlah pasien kondisinya justru memburuk pada minggu kedua setelah menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19. Para pakar pun menggambarkan situasi ini sebagai "ambruk pada minggu kedua".

"Mereka akhirnya dirawat di rumah sakit, dan sekitar tiga hari kemudian, mereka harus masuk ke unit perawatan intensif," kata Mark Nicholls, spesialis perawatan intensif dari Australian and New Zealand Intensive Care Society.

Kondisi seperti ini dialami oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang tadinya dikabarkan hanya mengalami gejala ringan COVID-19, hingga akhirnya dimasukkan ke ICU.

Meski kebanyakan orang yang terinfeksi COVID-19 hanya mengalami gejala ringan dan akhirnya sembuh dalam waktu satu atau dua minggu, tercatat ada 15 persen yang harus dirawat di rumah sakit. Sedangkan lima persen di antaranya justru kritis. Lalu bagaimana penjelasan akan hal tersebut?

Respon Imun Terhadap Virus Dalam Tubuh

Imun vs Virus

Getty Images

Para pakar medis menyebutkan, dalam beberapa kasus terutama ketika kondisi pasien memburuk bukanlah disebabkan oleh virusnya. Melainkan respons tubuh terhadap virus.

Artinya, jumlah oksigen pada aliran darah Anda menurun, sehingga organ tubuh kekurangan oksigen. Ketika sistem kekebalan tubuh mendeteksi adanya penyerang seperti SARS-CoV-2, ia memicu serangkaian respons untuk menahan dan membasmi infeksi. Salah satunya, pelepasan protein pensinyalan kecil yang disebut sitokin, yang biasanya menyebabkan peradangan.

Dalam kebanyakan kasus, respons imun bekerja dengan cara memadamkan infeksi dan respons peradangan tidak bekerja. Namun, terkadang sistem kekebalan tubuh secara keliru menjadi berlebihan dan tetap aktif lama setelah virus tak lagi menjadi ancaman.

Alasan Kondisi Kesehatan Menurun


Kondisi Tubuh Menurun

Getty Images

Sulit untuk mengetahui sejauh mana sistem imun seseorang menyebabkan kerusakan dalam kasus COVID-19. "Sistem imun pada kebanyakan orang memiliki peran yang sangat bermanfaat," kata Dr Julian Elliot, Direktur Klinis Satuan Tugas COVID-19 di Australia.

Orang yang terinfeksi corona dengan gejala serius biasanya memiliki tanda-tanda peningkatan peradangan, terutama di paru-paru. "Biasanya orang merasa normal saja, padahal sebenarnya sudah menderita radang paru-paru dengan tingkat oksigen yang cukup rendah," kata Dr Elliot.

Pneumonia merupakan infeksi paru-paru di mana kantung udara meradang dan dapat terisi oleh cairan. Ketika penyakit berkembang, pneumonia biasanya menjadi lebih buruk. "Pada tahap banyak peradangan di paru-paru, sering kali memiliki kadar oksigen sangat rendah, sehingga harus dibantu ventilator," jelasnya.

Namun, sejumlah pasien COVID-19 justru tak merasakan sesak napas, bahkan ketika kadar oksigennya turun. Artinya, dalam kasus COVID-19, meski tingkat oksigen dalam tubuh seseorang cukup rendah, ia tidak merasa terengah-engah. Itulah yang mungkin menjelaskan mengapa sejumlah pasien dengan gejala ringan tiba-tiba kondisinya mengalami penurunan drastis.

Obat Anti Peradangan

Obat-obatan

Getty Images

Reaksi kekebalan tubuh yang berlebihan (badai stikon) menjelaskan mengapa ada orang mengalami reaksi yang parah terhadap COVID-19, sedangkan yang lain relatif ringan. Terutama mereka yang berusia lanjut dan memiliki kondisi medis kronis atau sistem kekebalan tubuh yang terganggu.

"Dalam kasus-kasus orang berusia muda yang kondisinya parah, kemungkinan respons imun yang terlalu aktif sebagai penyebabnya," jelas Dr Elliot. "Tapi, itu mungkin pula terjadi pada orang tua."

Namun, ia belum mengetahui mengapa orang tertentu memberikan respons imun yang lebih aktif dibandingkan orang lain. Untuk menangani permasalahan ini, dokter biasa menganjurkan obat anti-inflamasi yang secara luas menumpulkan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid, atau memblokir sitokin tertentu.

Namun, risikonya bisa terlalu menekan sistem kekebalan tubuh saat melawan infeksi. "Itu sebabnya perlu penelitian karena perawatan ini memiliki risiko," kata Dr Elliot. Saat ini sudah ada uji coba obat COVID-19 yang menyelidiki peran obat yang menekan respons imun, tetapi hasilnya belum keluar.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terbaru