Kesaksian ABK WNI yang Dieksploitasi Kapal Tiongkok, Ungkap Fakta Kelam Ini
Nasional

Kelima ABK asal Indonesia yang berhasil selamat dari kapal Tiongkok Long Xing 629 menceritakan pengalaman mereka bekerja di sana sekitar 14 bulan. Mereka pun mengungkap fakta kelam yang dialami selama berlayar di laut.

WowKeren - Baru-baru ini publik dikejutkan dengan video tiga jenazah Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang dibuang dari Kapal Tiongkok. Video ini terungkap berdasarkan tayangan salah satu stasiun tv Korea Selatan MBC.

Bersamaan dengan beredarnya video tersebut, media Korea Selatan melaporkan sejumlah ABK Indonesia yang diperlakukan seperti budak oleh pemilik kapal tersebut. Diketahui ada 14 ABK Indonesia yang meminta pertolongan pemerintah Korea Selatan kini sudah ditangani oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul.

Dikutip dari BBC News Indonesia, lima orang ABK WNI yang bekerja di kapal Tiongkok Long Xing 629 menceritakan pengalaman mereka bekerja di sana sekitar 14 bulan. Salah satu ABK Indonesia yang berinsial BR mengatakan bahwa dirinya tak mampu bekerja di atas kapal ikan berbendera Tiongkok tersebut lantaran jam kerja yang di luar batas.

"Bekerja terus, buat makan (hanya dapat waktu) sekitar 10 menit dan 15 menit. Kami bekerja mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi," ujarnya dalam wawancara melalui video online, Kamis (7/5). "Setiap hari begitu."

Rekannya yang berinisial MY (20 tahun) juga mengatakan hal serupa. Pria lulusan SMK di Kepulauan Natuna, Riau ini acap kali tanya tidur selama tiga jam, dan sisa waktunya ia gunakan untuk membanting tulang mencari ikan. "Kalau kita ngeburu kerjaan (mencari ikan), kadang kita tidur cuma tiga jam," ungkapnya.Mereka mengatakan kapten kapal mengharuskan pada ABK Indonesia mencapai "target" ikan dalam jumlah tertentu setiap harinya. "Mau protes, susah sekali, kita di tengah laut," kata BR.

Sejumlah ABK mengatakan kontrak kerjanya tidak mengatur soal jam kerja. Salah satunya yang terjadi pada RV (27 tahun) asal Ambon, Maluku. "Tidak tertulis soal jam kerja, jadi baru diatur oleh kapten kapal saat di laut," ujarnya.

Namun, adapula ABK Indonesia yang diberangkatkan oleh agen dan jam kerjanya telah diatur di kontrak. Beberapa sempat menanyakan soal jam kerja, namun tidak berlanjut, karena mengaku "takut dipulangkan". Meski telah bekerja membanting tulang, sejumlah ABK itu mengaku gaji mereka belum dibayar.

Tak hanya masalah jam kerja yang di luar batas, ABK WNI yang berinisial NA (20 tahun) asal Makassar, Sulsel pun mengaku kerap 'dianaktirikan' soal makan dan minum. Ia mengatakan bahwa untuk ABK yang non-Indonesia mendapat jatah makanan yang "lebih bergizi" ketimbang mereka. "Kita dibedain dengan orang dia," ungkapnya.


Ia pun menceritakan bahwa di dalam kapal penangkap ikan tersebut terdapat 20 ABK WNI dan sekitar enam orang adalah ABK asal Tiongkok awalnya. "Air minumnya, kalau dia minum air mineral, kalau kami minum air sulingan dari air laut," ujarnya. " "Kalau makanan, mereka makan yang segar-segar."

KR (19 tahun) ABK asal Manado pun menambahkan jika ia dan teman-temannya tidak pernah "makan enak" selama melaut. "Mereka makan enak-enak, kalau kami seringkali makan ikan yang biasanya buat umpan itu," imbuhnya.

Selain itu, pengalaman pahit yang paling sulit mereka lupakan adalah ketika harus melarung tiga jenazah rekannya ke lautan lepas. Upaya mereka agar jenazah "disimpan" di ruang berpendingin, dan kelak dikubur "secara layak" di daratan, ditolak kapten kapal.

Mereka berulang-ulang meminta kepada kapten kapal agar jenazah rekannya itu dikubur saat kapal berlabuh. "Kami sudah ngotot, tapi kami tidak bisa memaksa, wewenang dari dia (kapten kapal) semua," ungkap NA. "Mereka beralasan, kalau mayat dibawah ke daratan, semua negara akan menolaknya."

Dihadapkan kenyataan pahit seperti itu, NA dan rekan-rekannya yang beragama Islam, akhirnya hanya bisa memandikan dan mensalati jenazah rekan-rekannya. "Kami mandikan, salati dan baru 'dibuang'," lanjutnya.

MY kemudian menambahkan bahwa keputusan kapten tersebut merupakan pelanggaran kontrak ABK. Pasalnya di perjanjian awal tertulis jika jenazah ABK bisa dipulangkan ke keluarganya.

Baik RV, BR maupun KR, MY maupun NA sepakat bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan gugatan hukum kepada pemilik kapal asing. "Agar kejadian ini tidak terulang lagi," ujar mereka.

Sementara itu, MY dan NA berharap pengalaman buruk mereka di atas kapal Long Xin 629 tidak dialami warga Indonesia yang tertarik untuk "melaut". Untuk itu, mereka berharap agar perusahaan yang mengirimkan calon ABK agar lebih memperhatikan soal hak-hak mereka sebagai ABK.

"Kita kan sudah ada perjanjian, dan ada pelanggaran kayak gini," pungkas MY. "Kita maunya perusahaan (yang mengirimkan mereka) bersikap lebih tegas."

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru