Tak Hanya Pagi Atau Siang, Nyamuk Aedes Aegypti Bisa Lebih Aktif di Malam Hari
Getty Images/iStockphoto/frank600
Dunia

Aedes aegypti pada umumnya menggigit mangsanya di pagi hari atau menjelang siang. Namun para ahli meyakini jika peningkatan polusi cahaya turut mengubah perilaku nyamuk ini

WowKeren - Cahaya lampu telah ikut mempengaruhi pola nyamuk dalam menggigit mangsanya di malam hari. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh para peneliti dari University of Notre Dame yang diterbitkan dalam The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene.

Nyamuk Aedes aegypti pada umumnya menggigit mangsanya di pagi hari atau menjelang siang. Namun belakangan para ahli meyakini jika peningkatan polusi cahaya turut mengubah perilaku nyamuk ini sehingga akan berpotensi akan meningkatkan risiko penyakit demam berdarah, demam kuning, maupun Cikungunya dan Zika.

"Ini berpotensi menjadi masalah yang sangat serius yang tidak boleh diabaikan," kata Giles Duffield, profesor di Departemen Ilmu Biologi, yang juga berafiliasi dengan Eck Institute for Global Health dan Neuroscience and Behavior Program, seperti dilansir dari Science Daily, Jumat (23/10).

Aedes aegypti diyakini berevolusi bersama manusia sehingga akan lebih memilih menggigit manusia daripada hewan seperti spesies nyamuk lain yang muncul dari hutan. "Mereka tinggal dan berkembang biak di sekitar rumah sehingga kemungkinan Aedes aegypti terpapar polusi cahaya sangat mungkin terjadi," tambahnya.


Penulis pertama studi tersebut, Samuel SC Rund yang juga merupakan seorang staf ilmuwan di Departemen Ilmu Biologi, melakukan suatu percobaan. Ia membiarkan nyamuk dalam sarang menggigit tangannya secara terkontrol. Percobaan ini dilakukan pada saat malam hari, siang, dan malam dengan cahaya lampu.

Ia mendapati jika nyamuk betina menjadi satu-satunya yang aktif menggigit pada malam hari ketika terpapar cahaya. Secara keseluruhan, sekitar 29 persen nyamuk pada kelompok kontrol tanpa penerangan makan pada malam hari tanpa cahaya buatan. Sementara 59 persen tampak menghisap darah pada saat terpapar cahaya buatan.

Berangkat dari temuan ini, diharapkan para ahli epidemiologi lebih memahami risiko sebenarnya dari penularan penyakit oleh spesies ini. Penemuan ini juga mendorong lebih banyak rekomendasi untuk penggunaan kelambu.

"Dampak dari penelitian ini bisa sangat besar, dan mungkin telah diabaikan," kata Duffield. "Ahli epidemiologi mungkin perlu mempertimbangkan polusi cahaya saat memprediksi tingkat infeksi."

(wk/zodi)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru