Membedah Peluang RI Hukum Mati Koruptor, Kasus Mensos Bisa Jadi Yang Pertama?
Instagram/kemensosri
Nasional

Begini penjelasan kemungkinan Mensos Juliari dihukum mati. Dari perbuatan harus terbukti hingga melihat sederet alasan Indonesia belum pernah menghukum mati koruptor.

WowKeren - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sebagai tersangka pada Minggu (6/12) lalu. Status tersangka ditetapkan setelah Juliari diduga menerima uang suap hingga Rp17 miliar dari pengadaan dana bantuan sosial (bansos) pandemi virus corona.

Kasus Juliari ini turut memunculkan ancaman pidana maksimal, yakni hukuman mati. Hukuman ini sesuai dengan yang tertuang pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sesuai pasal tersebut, tindakan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, khususnya saat terjadi bencana dapat dijatuhi hukuman mati. Kemungkinan hukuman mati bagi koruptor anggaran bencana hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra. Apalagi, Indonesia dalam sejarah belum pernah menerapkan hukuman mati bagi pejabat yang melakukan korupsi.

Mungkinkah Mensos Juliari Dijerat Hukuman Mati?

Mensos

Instagram/kemensosri

Mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Asep Iwan Irawan menjelaskan Juliari bisa saja menghadapi vonis hukuman mati. Syaratnya, harus ditemukan bukti yang kuat terkait kasus korupsi yang menjeratya.

Sejauh ini, KPK baru menjerat Juliari dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a dan b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal ini memuat ancaman hukuman penjara antara satu hingga maksimal 20 tahun.

Sedangkan vonis hukuman mati tertera di pasal 2 ayat (2). Isinya, setiap orang yang dalam keadaan tertentu memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara dapat dijatuhi pidana mati.

Asep lantas menyebut KPK dalam pengembangan perkara harus menjerat Juliari dan tersangka anggaran bencana COVID-19 lainnya dengan pasal yang memuat hukuman mati tersebut. Pasalnya, perkara ini memenuhi klausul adanya kerugian negara dan dilakukan dalam kondisi bahaya, bencana alam nasional atau krisis ekonomi.

”Orang-orang depresi sampai ada yang mati karena pandemi. Negara mengeluarkan uang untuk menanggulangi ini,” jelas Asep seperti dilansir dari BBCIndonesia, Selasa (8/12). “Ketika diselewengkan, kerugiannya justru lebih parah.”

”Negara pasti rugi kalau dia ambil Rp10.000 dari setiap paket bansos. Ini nampak dan sederhana sekali untuk dibuktikan,” sambungnya. “Bencana ini cakupannya dunia dan Indonesia juga sedang mengalami resesi.”

Bagaimana Dapat Bukti Kuat Untuk Jerat Koruptor?

Persidangan

Berbagai Sumber

Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menjelaskan cara yang bisa dilakukan untuk menemukan bukti kuat seseorang melakukan korupsi. Hal ini dilakukan dengan melakukan perhitungan aliran dana secara rinci bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Meski demikian, Kurnia mengakui cara tersebut memakan waktu yang cukup lama. Biasanya, proses ini terjadi dalam tahap penyidikan oleh pihak berwenang. Ia kemudian mencontohkan kasus korupsi e-KTP beberapa waktu lalu.

”Pada kasus korupsi e-KTP ada mark-up (penggelembungan harga) dan fee (upah) tertentu yang membuat kualitas barang dan jasa menurun. Kualitas yang tidak sama dengan itu menimbulkan kerugian negara,” terang Kurnia. “Pada operasi tangkap tangan sudah pasti terkait suap. Kerugian negara biasanya muncul dalam case building.”

Alasan Indonesia Belum Pernah Menghukum Mati Koruptor


Hukuman Mati

Berbagai Sumber

Asep kembali menjelaskan alasan Indonesia hingga sekarang belum pernah menerapkan hukuman mati terhadap koruptor dana bencana. Padahal, kasus korupsi dana bencana juga pernah tercatat di masa lalu.

Sepanjang 2004 hingga 2018, setidaknya telah terjadi 11 kasus dana bantuan bencana. Namun, tidak ada pun pelaku dijatuhi hukuman mati. Salah satunya adalah saat tsunami Aceh tahun 2004.

Kala itu, Sekjen Kementerian Luar Negeri kala itu, Sudjadnan Parnohadiningrat dihukum penjara 2 tahun 6 bulan. Ia dinyatakan bersalah telah merugikan negara hingga Rp11 miliar karena menyelewengkan dana perhelatan Tsunami Summit, konferensi internasional yang membahas tanggap darurat, rekonstruksi dan mitigasi bencana.

Kasus serupa juga terjadi saat terjadi bencana gempa dan tsunami Nias pada tahun 2005, Binahati Banedictus Baeha yang kala itu menjabat bupati, divonis bersalah setelah melakukan korupsi Rp3,7 miliar.

Asep menilai hukuman mati belum diterapkan lantaran kerugian yang tida besar. Walau begitu, ia mengingatkan penegak hukum untuk berani melakukan vonis hukuman mati kepada koruptor anggaran bencana. Jika tidak, Asep khawatir kepercayaan publik pada KPK dan pengadilan akan semakin luntur karena hukuman berat tak dijatuhkan.

”Mungkin karena nilai kerugian kasus-kasus sebelumnya kecil dan cakupan bencananya lokal. Kalau sekarang diputus seperti itu, di mana rasa keadilannya?,” Tanya Asep. “Pandemi ini dari urusan depresi sampai mati. Presiden dan KPK juga sudah ingatkan berkali-kali.

”Kalau tidak ada hukuman maksimal, rakyat pasti akan masa bodoh pada penegakan hukum,” sambungnya. “Supaya hakim merasakan nuansanya. Beberapa hakim juga meninggal karena COVID-19. Kalau penanganannya lama, nuansa pandemi sudah tidak ada. Nanti larinya ke pasal suap lagi.”

Sementara itu, Kurnia menyebut hukuman mati bagi koruptor justru akan mendapatkan banyak tentangan. Hukuman mati dinilai tidak menimbulkan efek jera. Hal ini berkaca pada negara lain yang menerapkan hukuman mati pada koruptor, dimana mereka mendapatkan skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya.

Oleh sebab itu, Kurnia menilai hukuman terbaik bagi koruptor adalah pidana penjara hingga perampasan asset pelaku. Kendati demikian, ia menyayangkan dua jenis hukuman tersebut yang tak juga dijatuhkan secara maksimal oleh penegak hukum.

”Pidana penjara kami kritik karena rata-rata hukuman yang dijatuhkan pada semester pertama 2020 hanya 3 tahun penjara. Tidak mungkin ada efek jera jika hukumannya segitu,” jelas Kurnia. “Kerugian negara dan uang pengganti yang diputus hakim juga jauh dari maksimal. Selama Januari-Juni lalu, kerugian negara sekitar Rp35 triliun, tapi uang penggantinya hanya Rp2,3 triliun.”

Apa Kata KPK?

KPK

Twitter/KPK_RI

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pihaknya akan mencari peluang menjerat Juliari serta para pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ancaman hukuman mati. Ia juga sempat menyebut korupsi anggaran penanganan pandemi COVID-19 sebagai “kehajatan berat” sebelum kasus Juliari terungkap.

”Tentu kita akan dalami terkait dengan apakah Pasal 2 itu bisa kita buktikan, terkait dengan pengadaan barang dan jasa,” kata Firli. “Kpada situasi bencana COVID-19 termasuk kejahatan berat. Para pelakunya, dapat diancam hukuman mati.”

Pernyataan serupa juga diutarakan Menko Polhukam Mahfud MD dan Presiden Jokowi. “Jika ada pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan anggaran bencana, maka bisa dihukum mati,” tutur Mahfud.

Sedangkan Jokowi juga menyatakan hukuman mati bisa dilakukan pada koruptor asalkan rakyat menghendaki. “Penerapan aturan hukuman mati untuk koruptor dapat diterapkan apabila ada kehendak yang kuat dari masyarakat.”

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait