DPR Revisi UU KPK Di Ujung Masa Jabatan, Ahli Hukum Nilai Salahi Aturan
Nasional

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat akan merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi di ujung masa jabatannya. Ahli hukum menilai keputusan yang dibuat secara tiba-tiba ini salahi aturan.

WowKeren - Dewan Perwakilan Rakyat baru saja mengadakan rapat paripurna yang menyepakati revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada Kamis (5/9). Kesepakatan tersebut diambil usai juru bicara dari 10 fraksi di Senayan menyampaikan pendapat secara tertulis ke meja pimpinan Rapat Paripurna DPR.

Berdasarkan catatan Sekretariat Jenderal DPR RI, terdapat 281 dari 560 anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna kali ini. Sementara itu, revisi UU KPK akan mencakup pada empat poin yakni penyadapan, dewan pengawas, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan pegawai KPK.

Revisi UU KPK yang diusulkan tiba-tiba oleh DPR periode 2014-2019 di ujung masa jabatannya tersebut dinilai menyalahi aturan oleh ahli hukum Bivitri Susanti. Menurutnya pengesahan perubahan RUU KPK menjadi RUU ini mengejutkan karena rencana pembahasan RUU tersebut tidak pernah ada sebelumnya.

Padahal menurut UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan RUU seharusnya dimulai dengan tahap perencanaan. Sementara itu, letak perencanaan ada di Prolegnas dan prioritas tahunan. Oleh karena itu, RUU usulan DPR ini dinilai tidak taat prosedur dan menyalahi hukum yang ada.


"Bila dilihat substansinya, RUU Ini akan sangat melemahkan KPK secara kelembagaan," ujar ahli hukum Bivitri Susanti saat diwawancarai Detik pada Kamis (5/9). "Bila Presiden tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres), maka pembahasan RUU tidak akan bisa dimulai."

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tersebut menuturkan bahwa menurut Pasal 20 UUD 1945, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Jadi, bila presiden tidak mengeluarkan Surpres maka RUU tersebut tidak akan bisa dibahas.

Maka dari itu, ia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk lebih peka melihat manuver DPR ini. Sebab, saat ini KPK tengah melakukan berbagai penindakan yang juga menyangkut politisi. Ia berharap pembahasan RUU KPK tersebut harus terbuka dan mengundang publik untuk berpartisipasi.

"Jangan sampai Presiden Jokowi tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang membunuh KPK," tutur Bivitri Susanti. "Padahal justru KPK yang menjadi model bagi banyak negara dan ironisnya KPK justru dibentuk sewaktu Ibu Mega jadi presiden."

Selain menyetujui RUU KPK, rapat paripurna DPR tersebut juga menyetujui revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPR (UU MD3). Revisi UU MD3 dilakukan untuk menambah jumlah pimpinan MPR periode 2019-2024 dari 5 menjadi 10 orang.

(wk/wahy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru