AS Sebut Indonesia Negara Maju, Pengamat Yakin Cuma Akal Bulus Trump
Nasional

Pakar ekonomi menilai ada alasan politis di balik pencoretan Indonesia dari daftar negara berkembang. Salah satunya seperti diungkap oleh Ekonom Indef berikut ini.

WowKeren - Baru-baru ini Indonesia berhasil mencatatkan prestasi baru, yakni dengan "naik level" dari segi ekonomi. Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) sudah mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang dan bisa disebut sebagai negara maju dalam perdagangan internasional.

Kendati terkesan seperti prestasi, pengamat ekonomi justru punya pandangan berbeda soal status terbaru Indonesia ini. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adinegara, menilai status ini merupakan bentuk akal bulus Presiden AS Donald Trump belaka. Bagaimana bisa?

Menurut Bhima, ada sejumlah fasilitas yang tak lagi bisa diterima Indonesia bila status negara berkembang itu dicabut. Salah satunya seperti pemotongan bea masuk yang selama ini diterima Indonesia dan negara berkembang lain.

Dengan pencabutan status, maka fasilitas itu tak lagi bisa didapat. Hal ini pun dapat menekan defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia. "Barang ekspor Indonesia ke pasar AS nanti akan dikenakan bea masuk yang lebih mahal. Ini akal liciknya Trump saja," terang Bhima, dilansir CNN Indonesia, Senin (24/2).

Lebih lanjut, selama ini Indonesia biasa menikmati fasilitas rendahnya bea masuk itu untuk ekspor tujuan AS. Namun tentunya kenaikan bea masuk dapat berdampak pada laju ekspor ribuan jenis produk, khususnya dari sektor tekstil dan pakaian jadi.


Bila terus-terusan terjadi, maka defisit neraca perdagangan Indonesia akan semakin melebar. Tercatat hingga Januari 2020 Indonesia menderita defisit neraca perdagangan sampai USD 864 juta.

"Kalau Indonesia tidak masuk GSP (Generalized System of Preferences atau fasilitas pengurangan bea masuk) lagi, kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," jelas Bhima.

"Tercatat dari Januari sampai November 2019 ada USD 2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP, dengan total 3.572 produk Indonesia yang menikmati GSP," imbuhnya.

Hal senada juga sempat diungkap oleh pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Menurutnya ada beberapa parameter untuk mengklasifikasikan negara sebagai negara berkembang atau maju.

Namun parameter itu nyatanya belum bisa dipenuhi Indonesia dengan baik, salah satunya soal sumbangsih sektor industri terhadap GDP. "Dalam konteks ini, saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata Fithra di Jakarta, Minggu (23/2).

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait