Mengenal Fenomena Catcalling Yang Kerap Bikin Resah Anak Muda
pixabay.com
SerbaSerbi

Fenomena catcalling masih marak dialami masyarakat terutama para wanita. Berikut pengertian, sejarah dan fakta menarik lainnya tentang fenomena Catcalling.

WowKeren - "Hey, cantik", "Wih, sendirian aja nih", "Suitt suittt...". Celetukan-celetukan iseng seperti itu kerap dijumpai di tengah masyarakat. Fenomena ini dikenal dengan istilah catcalling. Saking banyaknya, catcalling seolah telah menjadi kebiasaan.

Menurut Oxford Dictionary, catcalling merupakan siulan, panggilan dan komentar yang bersifat seksual dari seorang pria pada perempuan yang lewat di hadapannya. Biasanya pelaku catcalling atau catcaller dijumpai di jalan atau ruang publik. Catcaller biasanya menunjukkan gestur menggoda demi menarik perhatian korban.


Catcalling sendiri tergolong sebagai pelecehan seksual berbentuk verbal atau street harrastment. Catcaller seakan tak sadar bahwa pujian atau sapaan bernuansa seksual merupakan salah satu bentuk pelecehan. Sebagian besar korban pun merasa dilecehkan dan tak nyaman dengan kehadiran catcaller. Hal itu dibenarkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat.

"Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror," kata Rainy.

(wk/Sisi)

1. Sejarah Munculnya Istilah Catcalling


Sejarah Munculnya Istilah Catcalling
pixabay.com

Istilah catcalling sudah ada sejak 200 SM lalu. Saat itu, catcalling masih diartikan sebagai "wolf whistle" atau peluit serigala. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan nafsu seorang laki-laki pada perempuan.

Istilah catcaller kemudian muncul sekitar tahun 1700-an. Istilah ini dipakai untuk para penonton teater yang sengaja bersiul demi menunjukkan ketidaksenangan mereka pada aktor atau cerita yang disuguhkan di atas panggung.

Sementara itu, penulis terkenal dengan latar pendidikan psikologi dan sosiologi, Sparklle Rainne menyebut istilah catcalling kian dikenal berkat kartunis bernama Tex Avery. Pada tahun 1937, Avery menciptakan karakter kartun serigala populer "Little Red Walking Hood" yang dikisahkan senang bersiul.

Dalam kartun Avery tersebut, sang serigala akan bersiul guna mendapatkan perhatian dari perempuan yang ditaksir. Karena itu, catcalling dianggap menjadi istilah yang pas untuk menyebut para pelaku street harrastment.

2. Faktor Penyebab Munculnya Catcalling


Faktor Penyebab Munculnya Catcalling
pixabay.com

Sebagian orang menilai bahwa perilaku catcalling muncul karena penampilan calon korban yang tampak seksi dan menggoda. Namun, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dengan tegas membantahnya.

Rainy mengatakan faktor utama terjadinya catcalling karena kultur pelaku pelecehan. Pasalnya, banyak juga perempuan berpakaian tertutup yang masih menjadi korban catcalling. Menurut Rainy, fenomena catcalling tidak bisa dibenarkan atau dibiarkan. Catcalling bukanlah bentuk pujian atau candaan melainkan pelecehan yang meresahkan korban.

"Tubuh perempuan dipandang sebagai tubuh seksual yang membuat laki-laki tergoda. Jadi (yang disalahkan) bukan pelaku yang mengenakan lensa patriarkis dalam memandang perempuan. Segala bentuk pelecehan seksual tak boleh dibiarkan, apalagi atas nama perbuatan iseng, bila kita ingin membangun masyarakat tanpa kekerasan," kata Rainy.

3. Catcalling Di Mata Hukum


Catcalling Di Mata Hukum
pixabay.com

Jika dulu dianggap wajar, kini catcaller dapat terancam hukuman pidana. Korban pun tak perlu lagi cemas lantaran Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan.

Segala bentuk pelecehan seksual termasuk nonfisik seperti catcalling juga dapat diadukan ke polisi atau lembaga berwajib. Berdasarkan Pasal 5 UU TPKS, pelaku perbuatan seksual nonfisik bisa terancam hukuman pidana hingga 9 bulan penjara. Pelaku juga bisa terkena pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Hal itu dibenarkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad. Ia menyebut bahwa kesaksian korban kini sudah bisa menjadi bukti. "Sekarang kesaksian korban sudah dapat menjadi bukti," ungkap Bahrul Fuad.

Tak cuman UU TPKS, perlindungan korban tindak pidana catcalling juga telah diatur pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Korban berhak mendapatkan perlindungan keamanan serta dibebaskan memilih jenis perlindungan yang akan diberikan.

Karena itu, korban tak perlu takut untuk melawan pelaku catcalling. Pasalnya, bila dibiarkan perilaku ini dapat menimbulkan dampak yang fatal bagi kesehatan mental.

Nah, di artikel selanjutnya WowKeren akan membahas perihal bahaya atau dampak buruk akibat fenomena catcalling. Terus nantikan artikel WowKeren selanjutnya ya. See you!

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru