Soal Fatwa Halal Vaksin AstraZeneca, LPPOM MUI: Bisa Beda Tiap Negara
Twitter/sehatsurabayaku
Nasional

Direktur Pelayanan Audit Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Musclich mengungkapkan jika fatwa halal vaksin corona AstraZeneca bisa berbeda di tiap negara.

WowKeren - Persoalan halal dan haram vaksin COVID-19 AstraZeneca sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu. Direktur Pelayanan Audit Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Musclich pun mengungkapkan jika fatwa halal vaksin corona asal perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca sangat mungkin mengalami perbedaan di masing-masing negara.

Pernyataan itu ia sampaikan sekaligus untuk merespons klaim Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa dewan Islam di seluruh dunia telah menyatakan sikap soal vaksin AstraZeneca yang diperbolehkan untuk digunakan umat Muslim.

Sementara MUI memutuskan vaksin AstraZeneca haram sebab mengandung enzim babi, kendati penggunaannya diperbolehkan atau mubah sebab dalam kondisi darurat. Tapi MUI tetap meminta pemerintah membatasi penggunaannya jika Indonesia sudah punya persediaan vaksin jenis lain.

"Hukum halal itu bisa berbeda-beda antarnegara, agama, dan organisasi, memang begitu," kata Muslich dalam acara daring, Jumat (26/3). "Dan aturannya memang memungkinkan itu, karena punya dasar argumentasi masing-masing."

Muslich pun meyakini apa yang dilaporkan lembaganya ke Komisi Fatwa MUI merupakan laporan hasil penelitian yang valid. Ia menyebut laporan hasil pemeriksaan LPPOM MUI berdasarkan data dossier yang dipasok Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari pihak AstraZeneca.


Dalam laporan tersebut disimpulkan jika bahan aktif vaksin AstraZeneca adalah rekombinan adenovirus yakni monovalen vaksin yang terdiri atas satu rekombinan vektor 'replication-deficient chimpanzee adenovirus (ChAdOx1)', yang menjadikan kode untuk glikoprotein S dari SARS-CoV-2, disebut juga ChAdOx1-S (recombinant).

Saat pembuatan, dalam penyiapan inang virus, sel inang yang digunakan berasal dari diploid manusia. Persisnya sel yang diambil dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu.

Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum, yang disuplementasi dengan asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain serta antibiotik. Pada tahap penyiapan sel inang itulah ditemukan bahan atau enzim tripsin yang berasal dari pankreas babi.

"Produk akhirnya vaksin, tidak ada ke situ sebenarnya concern-nya. Tapi pernah ada penggunaan bahan turunan babi, itulah yang menjadi dasar Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan bahwa produksi ini haram," jelasnya. "Bukan di hilirnya, tapi di hulunya."

Sebelum Komisi Fatwa MUI memutuskan bahwa vaksin AstraZeneca haram, kata Muslich, pihaknya telah bertemu dengan Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, Direktur Utama PT Bio Farma, hingga pimpinan AstraZeneca Indonesia Rizman Abudaeri. Dalam pertemuan itu, Muslich mengungkapkan seluruh pihak sudah mengetahui vaksin AstraZeneca tersebut mengandung enzim tripsin babi. "Pak Risman itu juga menceritakan hal yang sama seperti yang saya ceritakan, sama persis, karena datanya sama," ungkapnya.

Namun demikian, di tengah polemik vaksin ini, Muslich kembali mengingatkan bahwa Komisi Fatwa MUI telah menjelaskan bahwa vaksin AstraZeneca boleh dipakai dalam keadaan darurat.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait